Pages

Kegoblokan Kolektif Pecinta Akik

Demam batu akik menjadikan ribuan atau bahkan jutaan orang berbondong-bondong membeli batu ini karena dorongan emosi kolektif yang tidak rasional

Indonesia Raja Minyak (?)

Saat ini semua bangsa bangsa sedang sibuk-sibuknya mencari energi alternatif baru, tapi kita justru terperangkap dengan politik populis

Apa Untungnya APEC Buat Bali

Pelaksanaan KTT APEC di Bali jelas menjadi pertaruhan Bangsa Indonesia di mata dunia. Khususnya pertaruhan wajah pemerintahan SBY baik internal maupun eksternal

Profesi Akuntan di Indonesia

Profesi akuntan publik adalah profesi yang mengemban amanat untuk memberi keyakinan atas laporan keuangan yang diterbitkan oleh suatu entitas

Laporan Keuangan

PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (“Sampoerna”) merupakan salah satu produsen rokok terkemuka di Indonesia

Rabu, 27 November 2013

Laporan Keuangan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Quarter I 2011



PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (“Sampoerna”) merupakan salah satu produsen rokok terkemuka di Indonesia. Mereka memproduksi sejumlah merek rokok kretek yang dikenal luas, seperti Sampoerna Kretek, A Mild, serta “Raja Kretek” yang legendaris Dji Sam Soe. Mereka adalah afiliasi dari PT Philip Morris Indonesia dan bagian dari Philip Morris International, produsen rokok terkemuka di dunia.

Pada tahun 2012, Sampoerna memiliki pangsa pasar sebesar 35,6% di pasar rokok Indonesia, berdasarkan hasil Nielsen Retail Audit Results Full Year 2012. Pada akhir 2012, jumlah karyawan Sampoerna dan anak perusahaannya mencapai sekitar 28.500 orang. 

Selain itu, Perseroan juga berkerja sama dengan 38 unit Mitra Produksi Sigaret (“MPS”) yang berada di berbagai lokasi di Pulau Jawa dalam memproduksi Sigaret Kretek Tangan, dan secara keseluruhan memiliki lebih dari 61.000 orang karyawan. Perseroan menjual dan mendistribusikan rokok melalui 73 kantor penjualan di seluruh Indonesia.

Berikut adalah Laporan keuangan  PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk : Laporan Keuangan PT Sampoerna Tahun 2012

Tugas Sistem Informasi Akuntansi

Untuk melengkapi tugas Sistem Informasi Akuntansi, berikut saya unggah tugas terstruktur, merangkum BAB VIII dari buku berjudul Accounting Information Systems karangan James A. Hall

google drive : Resume bab VIII Accounting Information Systems

Selasa, 26 November 2013

Indonesia Raja Minyak (?)

Saat ini semua bangsa bangsa sedang sibuk-sibuknya mencari energi alternatif baru, tapi kita justru terperangkap dengan politik populis, politik yang sok-sok an membela rakyat kecil seolah olah kita negara kaya minyak. Kita tahu tahu cadangan minyak dunia semakin menyusut tetapi andalannya masih tetap saja minyak. Sudah tahu kilang minyak kita tidak besar, tetap saja foya-foya minyak. "Tidak usah beli yang mentah, yang sudah jadi juga bisa kita beli". Pola pikir yang telah tertanam bahwa kita ini negeri kaya, kilang minyak ada dimana-mana justru membuat masyarakat awam menolak dengan keras dinaikannya harga BBM. Seakan-akan minyak itu tersedia gratis, Harganya tidak boleh lebih dari setengah bungkus rokok. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa untuk mendapatkan minyak butuh teknologi, pengetahuan tingkat tinggi, proses panjang berbahaya, mungkin juga merusak lingkungan. Indonesia adalah negara kepulauan, "disatukan" dengan laut-lautnya, kita butuh biaya angkut yang lebih mahal untuk mengirimnya dari satu tempat ketempat lain.

Dengan kerangka berpikir yang seperti itu rusaklah semuannya ketika fakta sudah tidak sama dengan realita. Memang benar dulu Indonesia adalah anggota OPEC, tapi kenyataannya sejak 2008 Indonesia telah dikeluarkan keluar dari keanggotaannya di OPEC. Kita bukanlah lagi negara pengekspor minyak, tapi kelakuan kita bak raja minyak. Memang bisa sumur sumur tua itu disedot lagi, tetapi butuh investasi yang tidak kecil. Namun bisa saja kita mengambilnya dari deviden usaha minyak kita, sayangnya hal tersebut tidak dilakukan, deviden deviden itu lari untuk menambah APBN, bukan digunakan untuk reinvestasi guna kemakmuran masa depan.


Akibatnya kita tak punya uang. Alternatifnya, cari teman, cari investor. Tetapi mental kita mengatakan kita tidak ingin dikuasasi asing, karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Karena asing dikesankan menguasai. Karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk cost recovery dan sebagainya. Tetapi sekali lagi, yang punya modal dan teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing?  Bukannya melatih diri agar lebih cerdik, tetapi kita selalu hanya ribut.   Sementara itu mencari sendiri sumur-sumur baru selain beresiko gagal, biaya investasinya sangat besar.

Kata para ahli minyak, ada sih minyak itu. Tetapi terpendam di laut dalam, atau terperangkap di dalam bebatuan (shale & gas). Namun, untuk menangkapnya lagi-lagi butuh teknologi: Ya, tanpa pengembangan teknologi, tidak bisa kita dapatkan minyak itu. "Indonesia Bisa, anak-anak Indonesia sudah bisa melakukannya" , mana buktinya? apa kita sudah memanfaatkan mereka dengan baik? iya kalo mereka tidak tergiur dollar diluar sana.

Karena kita tidak melakukannya, maka pilihannya hanya impor. Dari minyak mentah lalu minyak jadi dan semakin hari semakin besar. Dan ketika harganya di dunia internasional semakin mahal, kita pun menutup mata. Harganya di dalam negeri harus tetap murah. Tak peduli sekalipun akan digunakan untuk mabuk-mabukan, trek-trekan, untuk pacaran, pesta, konvoi, demo, membakar fasilitas umum, membakar anak orang, dan lain lain sebagainnya. Rakyat kita sama sekali tidak dididik memahami bahwa minyak telah berubah menjadi barang mewah. 15 dari 15 orang (mahasiswa, tukang becak, satpam kampus, ayam kampus) bahkan tidak ada yang tahu, sejak kapan Indonesia keluar dari OPEC

Pikiran kita adalah pikiran lama yang usang, yang seakan-akan Indonesia kaya minyak. Atau kalaupun tidak, pikiran kita mengatakan dunia ini masih kaya minyak. “Tidak akan pernah habis.” Produsen otomotif pun masih terus menjual kendaraan-kendaraan baru berbasiskan fossil fuel karena itulah energy yang paling efisien dan mudah dibawa. Dan kita pun terlena.
Energy Aternatif
Apakah alternatif yang sedang kita cari? Tenaga surya? Ternyata Indonesia bukan wilayah yang bagus buat energy tenaga surya karena matahari yang bersinar 12 jam di sini tidaklah tajam cahayanya. Kita mendapatkan “Light” tetapi tidak “Heat” nya
Tenaga angin? Ternyata juga tidak cocok. Angin di negeri ini ternyata tak sekencang angin di negeri Belanda atau Swiss. Walaupun penduduknya sering dilanda masuk angin

*beberapa dikutip dari Rhenald Kasali,dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menjadi guru besar Ilmu Manajemen di Universtas Indonesia

Apa untungnya APEC buat Bali ?

oleh Nyoman Sukma Arida*

Pelaksanaan KTT APEC di Bali jelas menjadi pertaruhan Bangsa Indonesia di mata dunia. Khususnya pertaruhan wajah pemerintahan SBY baik internal maupun eksternal. Inilah KTT yang konon mengusung dua agenda besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan Asia-Pasifik. Inilah konferensi dengan tema “Resilient Asia Pacific, Engine of Global Growth” yang akan dihadiri para pemimpin negara anggota termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, 6.000 delegasi pemimpin ekonomi, 1.200 pemimpin bisnis dunia, 3.000 wartawan dari dalam maupun luar negeri serta ribuan tamu dari organisasi internasional, perwakilan asing dan akademisi (Kompas, 16/09/2013). Obama sendiri batal hadir karena persoalan besar yang menghantam APBN-nya.
Kita sebagai rakyat Indonesia layak bangga dengan diselenggarakannya KTT APEC di Bali. Bisa jadi kita pun sepakat dengan pernyataan Staf khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah, yang menilai bahwa Indonesia harus memanfaatkan sebaik-baiknya penyelenggaraan KTT APEC di Bali. Kita mafhum betul bahwa KTT APEC demikian penting artinya bagi perekonomian Indonesia.
Tulisan ini mengajak kita semua mengajukan sebuah pertanyaan sederhana; apakah yang diperoleh Bali dari KTT APEC dan kegiatan-kegiatan sejenis? Bali, sebuah pulau kecil di antara ribuan pulau lainnya di Nusantara, yang karena daya pesonanya sebagai destinasi pariwisata, akhirnya terpilih menjadi tumpuan nama bangsa. Setelah sebelumnya juga menjadi ajang pelaksanaan kompetisi ratu sejagat Miss World, kini –dan mungkin di masa-masa selanjutnya—Bali kembali dipercaya mengemban tugas maha berat; sebagai tempat konferensi penting berskala global.
Berbagai kalangan mengklaim bahwa Bali tentu memeroleh banyak manfaat dengan digelarnya berbagai forum internasional, salah-satunya ialah kesempatan mempromosikan Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia. Pariwisata Bali dan Indonesia akan meningkat berkat berbagai kegiatan tersebut. Klaim ini tentu saja muncul sesuai dengan logika dan paradigma pertumbuhan ekonomi kapitalistik yang dikembangkan melalui industri pariwisata. Dalam dunia pariwisata, ideologi tersebut sering dilekatkan dengan istilah mass tourism. Pariwisata Bali selama ini, sadar atau tidak sadar, memang didesain untuk mendatangkan jumlah wisatawan sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2012, misalnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (direct arrivals) mencapai 2.888.864 orang (Dinas Pariwisata Propinsi Bali, 2013). Padahal tahun 2003 angka ini baru mencapai 993.023 orang. Angka ini akan semakin fantastik bila diakumulasi dengan jumlah kunjungan wisatawan domestik yang mencapai 6 juta lebih pada tahun 2012. Sementara bila dikaitkan dengan daya dukung alam Bali, tekanan jumlah penduduk dan wisatawan ini telah menimbulkan dampak yang sangat serius. Laju alih fungsi lahan pertanian setiap tahun mencapai angka 1000 hektar (Atmadja, 2001). Demikian pula telah terjadi krisis ketersediaan air tanah di kawasan-kawasan pariwisata seperti Sanur dan Kuta.
Artinya, bentangan fakta di atas menunjukkan bahwa mempromosikan Bali besar-besaran untuk menarik lebih banyak kunjungan wisatawan ke Bali bukanlah langkah dan strategi yang bijak. Bali sudah demikian ‘penat’ dengan perkembangan mass tourism. Terus-menerus menggenjot investasi pariwisata di Bali melalui pembangunan berbagai fasilitas wisata kelas dunia, terutama di Bali Selatan, terbukti telah menimbulkan kesemrawutan tata-ruang, kemacetan, dan berbagai efek sosial budaya yang sebelumnya tak pernah dibayangkan oleh masyarakat Bali sendiri. Hingga tahun 2012 Bali telah memiliki 218 buah hotel bintang dengan jumlah kamar 24.215, dan 1.696 buah hotel non bintang dengan jumlah kamar sebanyak 24.322 buah (BPS Bali, 2013). Rata-rata lama menginap wisatawan di hotel berbintang hanya 3,36 hari, dengan persentase tingkat hunian mencapai 63%. Sedangkan pada hotel non bintang dan jenis akomodasi lainnya rata-rata lama menginap tercatat hanya 2,85 hari, dengan tingkat hunian mencapai 38 % (BPS Bali, 2013).
Rendahnya lama tinggal (length of stay) menunjukkan daya tarik atraksi di Bali kian merosot dibandingkan dengan satu dekade lalu, saat lama tinggal masih berada pada kisaran 4-5 hari. Tingkat hunian hotel juga masih sangat lapang, dengan akumulasi menginap yang lebih banyak pada sektor hotel berbintang (63%), yang notabene dimiliki oleh para kapitalis pemilik chain perusahaan hotel dunia.
Dengan membaca fakta-fakta di atas layak diajukan sebuah pertanyaan; untuk siapakah kemajuan pariwisata Bali selama ini? Ke manakah mengalirnya keuntungan sektor pariwisata? Apakah ke masyarakat Bali, pemerintah pusat, ataukah para kapitalis global? Sudah menjadi rahasia umum bahwa 75 % dari keuntungan pundi-pundi pariwisata Bali mengalir kembali ke luar negeri dan ke Jakarta. Keuntungan pengelolaan BTDC dan Bandara Ngurah Rai misalnya, mayoritas diambil oleh Pemerintah Pusat. Bali hanya mendapat remah-remah kue pariwisata!
Niat membantu Bali melalui penyelenggaraan kegaitan sekelas KTT APEC, sepertinya layak diperiksa kembali. Bali tidak lagi memerlukan jumlah wisatawan yang berlebihan. Bali membutuhkan desain ulang kepariwisataan yang lebih berkualitas dengan karakter skala kecil, dekat dengan masyarakat, dan dikelola oleh masyarakat Bali sendiri. Forum-forum global yang berlangsung di Bali hendaknya mampu menangkap ‘kebutuhan’ Bali tersebut bila tidak ingin menjadikan Bali sebagai the lost paradise.
*Penulis, dosen pada Fak. Pariwisata Unud, Bali, Mahasiswa S3 Kajian Pariwisata UGM, sedang mengikuti Sandwich-LIKE Dikti di Univ. Murdoch,
Perth, Werstern Australia. Kontak @beningsukma atau sukma.arida@gmail.com.