Pages

Selasa, 26 November 2013

Indonesia Raja Minyak (?)

Saat ini semua bangsa bangsa sedang sibuk-sibuknya mencari energi alternatif baru, tapi kita justru terperangkap dengan politik populis, politik yang sok-sok an membela rakyat kecil seolah olah kita negara kaya minyak. Kita tahu tahu cadangan minyak dunia semakin menyusut tetapi andalannya masih tetap saja minyak. Sudah tahu kilang minyak kita tidak besar, tetap saja foya-foya minyak. "Tidak usah beli yang mentah, yang sudah jadi juga bisa kita beli". Pola pikir yang telah tertanam bahwa kita ini negeri kaya, kilang minyak ada dimana-mana justru membuat masyarakat awam menolak dengan keras dinaikannya harga BBM. Seakan-akan minyak itu tersedia gratis, Harganya tidak boleh lebih dari setengah bungkus rokok. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa untuk mendapatkan minyak butuh teknologi, pengetahuan tingkat tinggi, proses panjang berbahaya, mungkin juga merusak lingkungan. Indonesia adalah negara kepulauan, "disatukan" dengan laut-lautnya, kita butuh biaya angkut yang lebih mahal untuk mengirimnya dari satu tempat ketempat lain.

Dengan kerangka berpikir yang seperti itu rusaklah semuannya ketika fakta sudah tidak sama dengan realita. Memang benar dulu Indonesia adalah anggota OPEC, tapi kenyataannya sejak 2008 Indonesia telah dikeluarkan keluar dari keanggotaannya di OPEC. Kita bukanlah lagi negara pengekspor minyak, tapi kelakuan kita bak raja minyak. Memang bisa sumur sumur tua itu disedot lagi, tetapi butuh investasi yang tidak kecil. Namun bisa saja kita mengambilnya dari deviden usaha minyak kita, sayangnya hal tersebut tidak dilakukan, deviden deviden itu lari untuk menambah APBN, bukan digunakan untuk reinvestasi guna kemakmuran masa depan.


Akibatnya kita tak punya uang. Alternatifnya, cari teman, cari investor. Tetapi mental kita mengatakan kita tidak ingin dikuasasi asing, karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Karena asing dikesankan menguasai. Karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk cost recovery dan sebagainya. Tetapi sekali lagi, yang punya modal dan teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing?  Bukannya melatih diri agar lebih cerdik, tetapi kita selalu hanya ribut.   Sementara itu mencari sendiri sumur-sumur baru selain beresiko gagal, biaya investasinya sangat besar.

Kata para ahli minyak, ada sih minyak itu. Tetapi terpendam di laut dalam, atau terperangkap di dalam bebatuan (shale & gas). Namun, untuk menangkapnya lagi-lagi butuh teknologi: Ya, tanpa pengembangan teknologi, tidak bisa kita dapatkan minyak itu. "Indonesia Bisa, anak-anak Indonesia sudah bisa melakukannya" , mana buktinya? apa kita sudah memanfaatkan mereka dengan baik? iya kalo mereka tidak tergiur dollar diluar sana.

Karena kita tidak melakukannya, maka pilihannya hanya impor. Dari minyak mentah lalu minyak jadi dan semakin hari semakin besar. Dan ketika harganya di dunia internasional semakin mahal, kita pun menutup mata. Harganya di dalam negeri harus tetap murah. Tak peduli sekalipun akan digunakan untuk mabuk-mabukan, trek-trekan, untuk pacaran, pesta, konvoi, demo, membakar fasilitas umum, membakar anak orang, dan lain lain sebagainnya. Rakyat kita sama sekali tidak dididik memahami bahwa minyak telah berubah menjadi barang mewah. 15 dari 15 orang (mahasiswa, tukang becak, satpam kampus, ayam kampus) bahkan tidak ada yang tahu, sejak kapan Indonesia keluar dari OPEC

Pikiran kita adalah pikiran lama yang usang, yang seakan-akan Indonesia kaya minyak. Atau kalaupun tidak, pikiran kita mengatakan dunia ini masih kaya minyak. “Tidak akan pernah habis.” Produsen otomotif pun masih terus menjual kendaraan-kendaraan baru berbasiskan fossil fuel karena itulah energy yang paling efisien dan mudah dibawa. Dan kita pun terlena.
Energy Aternatif
Apakah alternatif yang sedang kita cari? Tenaga surya? Ternyata Indonesia bukan wilayah yang bagus buat energy tenaga surya karena matahari yang bersinar 12 jam di sini tidaklah tajam cahayanya. Kita mendapatkan “Light” tetapi tidak “Heat” nya
Tenaga angin? Ternyata juga tidak cocok. Angin di negeri ini ternyata tak sekencang angin di negeri Belanda atau Swiss. Walaupun penduduknya sering dilanda masuk angin

*beberapa dikutip dari Rhenald Kasali,dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menjadi guru besar Ilmu Manajemen di Universtas Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar