Pages

Selasa, 26 November 2013

Apa untungnya APEC buat Bali ?

oleh Nyoman Sukma Arida*

Pelaksanaan KTT APEC di Bali jelas menjadi pertaruhan Bangsa Indonesia di mata dunia. Khususnya pertaruhan wajah pemerintahan SBY baik internal maupun eksternal. Inilah KTT yang konon mengusung dua agenda besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan Asia-Pasifik. Inilah konferensi dengan tema “Resilient Asia Pacific, Engine of Global Growth” yang akan dihadiri para pemimpin negara anggota termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, 6.000 delegasi pemimpin ekonomi, 1.200 pemimpin bisnis dunia, 3.000 wartawan dari dalam maupun luar negeri serta ribuan tamu dari organisasi internasional, perwakilan asing dan akademisi (Kompas, 16/09/2013). Obama sendiri batal hadir karena persoalan besar yang menghantam APBN-nya.
Kita sebagai rakyat Indonesia layak bangga dengan diselenggarakannya KTT APEC di Bali. Bisa jadi kita pun sepakat dengan pernyataan Staf khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah, yang menilai bahwa Indonesia harus memanfaatkan sebaik-baiknya penyelenggaraan KTT APEC di Bali. Kita mafhum betul bahwa KTT APEC demikian penting artinya bagi perekonomian Indonesia.
Tulisan ini mengajak kita semua mengajukan sebuah pertanyaan sederhana; apakah yang diperoleh Bali dari KTT APEC dan kegiatan-kegiatan sejenis? Bali, sebuah pulau kecil di antara ribuan pulau lainnya di Nusantara, yang karena daya pesonanya sebagai destinasi pariwisata, akhirnya terpilih menjadi tumpuan nama bangsa. Setelah sebelumnya juga menjadi ajang pelaksanaan kompetisi ratu sejagat Miss World, kini –dan mungkin di masa-masa selanjutnya—Bali kembali dipercaya mengemban tugas maha berat; sebagai tempat konferensi penting berskala global.
Berbagai kalangan mengklaim bahwa Bali tentu memeroleh banyak manfaat dengan digelarnya berbagai forum internasional, salah-satunya ialah kesempatan mempromosikan Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia. Pariwisata Bali dan Indonesia akan meningkat berkat berbagai kegiatan tersebut. Klaim ini tentu saja muncul sesuai dengan logika dan paradigma pertumbuhan ekonomi kapitalistik yang dikembangkan melalui industri pariwisata. Dalam dunia pariwisata, ideologi tersebut sering dilekatkan dengan istilah mass tourism. Pariwisata Bali selama ini, sadar atau tidak sadar, memang didesain untuk mendatangkan jumlah wisatawan sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2012, misalnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (direct arrivals) mencapai 2.888.864 orang (Dinas Pariwisata Propinsi Bali, 2013). Padahal tahun 2003 angka ini baru mencapai 993.023 orang. Angka ini akan semakin fantastik bila diakumulasi dengan jumlah kunjungan wisatawan domestik yang mencapai 6 juta lebih pada tahun 2012. Sementara bila dikaitkan dengan daya dukung alam Bali, tekanan jumlah penduduk dan wisatawan ini telah menimbulkan dampak yang sangat serius. Laju alih fungsi lahan pertanian setiap tahun mencapai angka 1000 hektar (Atmadja, 2001). Demikian pula telah terjadi krisis ketersediaan air tanah di kawasan-kawasan pariwisata seperti Sanur dan Kuta.
Artinya, bentangan fakta di atas menunjukkan bahwa mempromosikan Bali besar-besaran untuk menarik lebih banyak kunjungan wisatawan ke Bali bukanlah langkah dan strategi yang bijak. Bali sudah demikian ‘penat’ dengan perkembangan mass tourism. Terus-menerus menggenjot investasi pariwisata di Bali melalui pembangunan berbagai fasilitas wisata kelas dunia, terutama di Bali Selatan, terbukti telah menimbulkan kesemrawutan tata-ruang, kemacetan, dan berbagai efek sosial budaya yang sebelumnya tak pernah dibayangkan oleh masyarakat Bali sendiri. Hingga tahun 2012 Bali telah memiliki 218 buah hotel bintang dengan jumlah kamar 24.215, dan 1.696 buah hotel non bintang dengan jumlah kamar sebanyak 24.322 buah (BPS Bali, 2013). Rata-rata lama menginap wisatawan di hotel berbintang hanya 3,36 hari, dengan persentase tingkat hunian mencapai 63%. Sedangkan pada hotel non bintang dan jenis akomodasi lainnya rata-rata lama menginap tercatat hanya 2,85 hari, dengan tingkat hunian mencapai 38 % (BPS Bali, 2013).
Rendahnya lama tinggal (length of stay) menunjukkan daya tarik atraksi di Bali kian merosot dibandingkan dengan satu dekade lalu, saat lama tinggal masih berada pada kisaran 4-5 hari. Tingkat hunian hotel juga masih sangat lapang, dengan akumulasi menginap yang lebih banyak pada sektor hotel berbintang (63%), yang notabene dimiliki oleh para kapitalis pemilik chain perusahaan hotel dunia.
Dengan membaca fakta-fakta di atas layak diajukan sebuah pertanyaan; untuk siapakah kemajuan pariwisata Bali selama ini? Ke manakah mengalirnya keuntungan sektor pariwisata? Apakah ke masyarakat Bali, pemerintah pusat, ataukah para kapitalis global? Sudah menjadi rahasia umum bahwa 75 % dari keuntungan pundi-pundi pariwisata Bali mengalir kembali ke luar negeri dan ke Jakarta. Keuntungan pengelolaan BTDC dan Bandara Ngurah Rai misalnya, mayoritas diambil oleh Pemerintah Pusat. Bali hanya mendapat remah-remah kue pariwisata!
Niat membantu Bali melalui penyelenggaraan kegaitan sekelas KTT APEC, sepertinya layak diperiksa kembali. Bali tidak lagi memerlukan jumlah wisatawan yang berlebihan. Bali membutuhkan desain ulang kepariwisataan yang lebih berkualitas dengan karakter skala kecil, dekat dengan masyarakat, dan dikelola oleh masyarakat Bali sendiri. Forum-forum global yang berlangsung di Bali hendaknya mampu menangkap ‘kebutuhan’ Bali tersebut bila tidak ingin menjadikan Bali sebagai the lost paradise.
*Penulis, dosen pada Fak. Pariwisata Unud, Bali, Mahasiswa S3 Kajian Pariwisata UGM, sedang mengikuti Sandwich-LIKE Dikti di Univ. Murdoch,
Perth, Werstern Australia. Kontak @beningsukma atau sukma.arida@gmail.com.

0 komentar:

Posting Komentar