Akhir-akhir ini batu akik menjadi
sangat populer. Harganya naik berkali-kali lipat sebelum ketenarannya. Kita
dapat dengan mudah menjumpai penjual batu di pinggir-pinggir jalan, bahkan
jalan kampus di utara kampus pusat Universitas Jenderal Soedirman yang
mayoritas pengguna jalan adalah Mahasiswa dan pelajar pun mulai bermunculan
lapak-lapak batu akik. Mulai dari penjual batu yang masih bongkahan hingga
tukang penggosok batu. Bahkan bengkel dipinggir Universitas Terbuka aktivitas
utamanya kini menggosok batu. Lebih “hebat” lagi di Kabupaten Purbalingga,
untuk meningkatkan potensi lokal berupa batu klawing atau batu akik, pegawai negeri sipil (PNS) di Pemkab Purbalingga diwajibkan
memakai batu akik. Hal ini berdampak positif terhadap
perekonomian daerah dan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.
Melejitnya batu akik memberikan dampak positif terhadap perekonomian tetapi hal itu tidak bisa dilepaskan dari dampak negatifnya. Beberapa penambang telah menyasar ke bebatuan di sekitar situs bersejarah. Kini penambangan telah dilakukan secara sporadis, namun mayoritas penambang tidak melakukan reklamasi. Hal ini tentunya dapat merusak lingkungan.
Beberapa puluh tahun yang lalu terjadi fenomena yang mirip, demam gelombang cinta dan ikan lauhan. Dibanding saat ini, harga tanaman gelombang cinta dan ikan lauhan saat itu mencapai puluhan kali lipat. Mereka sudah tidak bisa berpikir rasional. Seakan-akan mereka mengalami kebodohan massal. Saat ini lingkungan sosial kita mengalami fenomena yang sama. Demam batu akik menjadikan ribuan atau bahkan jutaan orang berbondong-bondong membeli batu ini karena dorongan emosi kolektif yang tidak rasional.
Kenapa fenomena seperti ini sering sekali terjadi? Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang latah. Seperti halnya binatang dalam jumlah yang besar atau dalam grup, mereka akan meniru tindakan kawannya tanpa ada perintah terpusat.
Tapi, bagaimana demam batu akik bisa terjadi? Tindakan mereka menjadi tidak rasional lagi. Padahal menurut teori ekonomi klasik manusia sangat rasional dalam financial/economic decison making. Ketika kita melihat ke teori yang lain yaitu premis dasar ilmu financial psychology (bantahan dari teori sebelumnya), fenomena ini adalah sebuah contoh yang terpampang nyata bahwa manusia sering sekali bertindak irrasional. Kemudian para ahli psikologi keuangan (financial behavior) menulis : kepercayaan bahwa manusia itu rasional dalam financial/ecnomic decision making adalah ilusi.
Tidak ada salahnya mereka menggilai batu akik. Tidak ada salahnya mereka yang mempunyai uang berlebih membeli batu bernilai ratusan juta rupiah. Tidak ada salahnya mereka yang mempunyai saham ratusan milyar rupiah menghabiskan waktu seharian memandangi dan berburu batu. Namun yang salah disini adalah mereka yang belum merdeka secara ekonomi, mereka para masyarakat prasejahtera yang sudah berpikir tidak rasional lagi. Ketika banyak demonstrasi membela rakyat kecil yang tercekik dengan melambungnya harga bahan pokok, sebagian dari mereka justru sibuk memandangi bongkahan batu dipinggir jalan. Ada benarnya Adam Smith bersabda tentang diamond-water paradox.
Referensi :
www.strategimanajemen.net
www.strategimanajemen.net
0 komentar:
Posting Komentar